
POJOKSATU – Entah sekadar menenangkan pasar, pemerintah terlihat cukup dingin dalam menghadapi gejolak ini. Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan beberapa menteri bahkan terus mengatakan bahwa pelemahan rupiah saat ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain. Tapi, tetap saja pelaku usaha panas dingin.
Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin mengakui, yang paling diinginkan dari nilai tukar adalah stabilitas. Karena itu, mau rupiah bergerak di 11.000, 12.000, atau 13.000 per USD tidak terlalu bermasalah asal volatilitasnya landai. ”Itu yang diupayakan pemerintah,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (20/12).
Menurut Wijayanto, yang terjadi saat ini bukanlah pelemahan rupiah terhadap USD, melainkan penguatan USD terhadap hampir seluruh mata uang global. ”Bahkan, dalam satu bulan terakhir, sebenarnya rupiah justru menguat terhadap mata uang lain seperti yen (Jepang), won (Korea), dolar Australia, dolar Singapura, maupun ringgit (Malaysia),” katanya.
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, sepanjang periode 2 Januari–17 Desember 2014, nilai tukar rupiah terdepresiasi 4,36 persen pada level 12.720 per USD dengan volatilitas dari 11.271 hingga 12.900 per USD. Jika dibandingkan dengan periode 2013 yang terdepresiasi 19,54 persen, pelemahan rupiah tahun ini memang masih jauh lebih baik.
Lalu, apa yang akan dilakukan untuk menjaga stabilitas rupiah? Wijayanto mengatakan, dalam jangka pendek, satu-satunya cara untuk meredam gejolak rupiah adalah intervensi Bank Indonesia, baik dengan senjata cadangan devisa atau instrumen suku bunga. ”Dalam beberapa hari terakhir, intervensi BI di pasar uang terbukti bisa menstabilkan rupiah di level 12.500-an per USD,” ucapnya.
Pada jangka menengah, pemerintah akan meminimalkan defisit anggaran dan menekan inflasi yang disebabkan sisi supply. Caranya adalah efisiensi pengeluaran serta optimalisasi penerimaan negara. ”Ini akan diimplementasikan dalam APBN Perubahan 2015,” sebutnya. Adapun menekan inflasi akan dicapai melalui efisiensi jaringan logistik, perbaikan tata niaga, serta upaya swasembada pangan.
Para menteri pun sudah memiliki strategi dan cara untuk bahu-membahu menjaga stabilitas rupiah. Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, salah satu diagnosis kenapa pelemahan rupiah terjadi begitu ekstrem dalam satu pekan terakhir adalah kombinasi antara sentimen penguatan USD secara global dan tingginya kebutuhan USD di pasar domestik. ”Untuk eksternal, itu di luar kendali kami. Tapi, untuk yang domestik, kami bisa upayakan,” ujarnya.
Bagaimana caranya? Menurut Sofyan, selama ini pemerintah juga ikut berebut USD di pasar untuk membayar yield obligasi. Ke depan, aktivitas di pasar dikurangi dengan cara meminjam kepada lembaga multilateral. ”Kami akan lebih banyak pakai dana ODI (overseas development institute) seperti World Bank, ADB (Asian Development Bank), atau Jepang,” sebutnya.
Sementara itu, Menteri BUMN Rini Soemarno juga sudah mendiagnosis salah satu sebab melemahnya rupiah. Yakni, tingginya kebutuhan di dalam negeri, sementara pasokan terbatas. Salah satunya terjadi karena banyak BUMN yang berburu USD di pasar untuk membayar cicilan obligasi valas. ”Karena itu, saya sudah minta BUMN untuk mengurangi utang valas,” ujarnya.
Beberapa BUMN yang memiliki utang valas dalam jumlah besar, antara lain, Pertamina, Perusahaan Listrik Negara (PLN), serta Garuda Indonesia. Bahkan, Garuda tercatat memiliki komposisi utang 90 persen dalam denominasi valas. Padahal, pendapatannya dalam valas hanya 30 persen. ”Untuk BUMN yang punya eksposur tinggi pada valas, kami minta supaya melakukan hedging (lindung nilai),” katanya.(jp)