Tegas, Dedi Mulyadi Tolak SK KLHK Karena Berpotensi Hilangnya Mata Air Berganti Menjadi Air Mata Kesengsaraan Rakyat

Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi, wakil ketua Komisi IV DPR RI tolak Surat Keputusan Mentri Lingkungan Hidup tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus.

POJOKSATU.id, PURWAKARTA – Jangan sampai mata air yang ada di hutan hilang, sehingga berdampak terjadinya kekeringan, susah air, rakyat sengsara, akhirnya berubah menjadi Air Mata penderitaan bagi warga masyarakat.


Demikian hal itu disampaikan Dedi Mulyadi, sebagai wakil rakyat di gedung senayan yang menolak secara tegas atas adanya SK Nomor 287 tahun 2022 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi secara tegas menolak SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No 287 tahun 2022, tentang penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) yang berpotensi menghilangkan kawasan hutan seluas 1,1 juta hektare di Pulau Jawa.

“Saya menolak tegas SK tersebut, jangan sampai mata air berubah menjadi air mata kesengsaraan rakyat negeri ini,” kata Dedi Mulyadi, melalui sambungan seluller, Sabtu (28/05).


Hal tersebut kembali ditegaskan oleh Kang Dedi Mulyadi saat rapat dengar pendapat dengan Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) di Gedung DPR beberapa hari yang lalu.

“Semangat penolakan sudah sejak lama, sejak digulirkannya gagasan Menteri LHK dalam rencana mengatur tata kelola kehutanan di Pulau Jawa. Kita tolak karena di Jawa ini hutan menjadi fundamen dan esensial karena arealnya semakin menipis,” tegas Dedi.

Sejak dulu Dedi selalu menyampaikan gagasan agar pemerintah kabupaten/kota, provinsi atau pusat mengangkat masyarakat sekitar hutan menjadi pegawai. Mereka diberi tugas khusus untuk menjaga areal hutan dan penanaman secara masif.

Selain itu anak-anak yang tinggal di kawasan hutan diberi pendidikan kepariwisataan. Di sisi lain, pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat untuk mengubah tempat tinggalnya bergaya rumah adat.

Kemudian sumber mata airnya dipertahankan dan dikembangkan peternakan yang kuat di lingkungannya sehingga pada akhirnya tumbuh ekonomi yang kuat,” ujarnya.

Hal tersebut, kata Dedi, sudah berhasil ia lakukan sejak menjadi Wakil Bupati dan Bupati Purwakarta. Saat ia menjabat Kampung Tajur yang berada di kaki Gunung Burangrang berhasil diubah menjadi kawasan wisata yang selalu diminati wisatawan terutama mereka yang berasal dari kota.

Setiap tahun ada 10 ribu pelajar datang ke situ untuk bermukim di situ kemudian bercocok tanam bersama masyarakat yang rumahnya difungsikan sebagai homestay. Sekarang masyarakat di situ setiap hari relative lebih baik dan lebih makmur tanpa ada perusakan hutan.

“Ini sebenarnya bisa dilakukan, ikhtiar-ikhtiar itu. Penanaman pohonnya juga bisa diganti nangka, petai, duren, kopi, jadi hutan terjaga masyarakatnya sejahtera, kalau dalam bahasa saya leuweung hejo rakyat ngejo (hutan hijau rakyat makan),” lanjut Dedi.

Kang Dedi juga mengungkapkan temuannya soal penguasaan lahan hutan oleh sekelompok LSM di Karawang yang dianggap sebagai pemegang hak perhutanan sosial. Setelah dicek diduga tidak ada warga kawasan hutan setempat yang masuk kelompok itu.

Tidak hanya itu, lokasi juga malah menjadi tempat pembuangan limbah B3. Setelah di-police line tempat tersebut mengalami kebakaran. Bahkan kemarin malam juga ada informasi tempat tersebut kembali kebakaran. Dedi curiga hal tersebut bukan kebakaran melainkan sengaja dibakar.

“Saya kemudian menemukan kuitansi yang menunjukan bahwa lahan itu dikavling, dibagi-bagi dan sebagian lagi dialih fungsikan. Kemudian saya temukan lagi satu areal di depannya peternakan domba tapi di belakangnya urugan tanah. Ini sangat berbahaya kalau para pemodal maju terlebih dahulu kemudian tanah dikuasai, justru masyarakat setempat semakin tertinggal,” ucapnya.

Bagi Dedi salah satu bentuk kerja sama ideal pengelolaan hutan adalah dengan masyarakat adat setempat. Ia mencontohkan tidak pernah ada konflik di Ciptagelar, Sirnaresmi atau Kasepuhan Banten. Justru di sana hutan sangat terjaga dan tumbuh pariwisata sehingga masyarakat sejahtera.

Menurut Dedi jika pengelolaan hutan jatuh di tangan yang salah seperti LSM yang di Karawang maka akan terjadi kerusakan hutan yang masif. Sebab tangan mereka tidak terbiasa menanam dan merawat pohon tapi justru sibuk melakukan pengerukan tanah hingga ‘kavling’ lahan.

“Sudut pandang kita ada gak sih jaminan dari SK itu kelestarian hutan terjaga. Faktanya belum apa-apa orang sudah main kavling. Jadi dalam pikiran orang saat ini adalah ini (SK) adalah pintu masuk menguasai tanah negara,” ujarnya.

Kang Dedi khawatir jika ini terus dibiarkan maka dalam kurun waktu 6 bulan ke depan masyarakat akan kehilangan 1,1 juta hektare lahan hutan di Pulau Jawa.

“Suatu saat ini bisa ubah mata air menjadi air mata. Suatu saat di Jawa termasuk di Jabar mata air akan berubah menjadi air mata,” pungkas Kang Dedi Mulyadi. (Adw/pojoksatu)