POJOKSATU.id, JAKARTA— Organisasi Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) terus berupaya membantu pemerintah RI dalam gugatan pelarangan ekspor bijih nikel di World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia.
Setelah mengajukan diri sebagai pihak ketiga atau intervensi dalam panel banding perkara tersebut di Badan Banding WTO, kini JAKI mengajukan diri sebagai konsultan atau penasihat WTO guna membela kepentingan RI.
“Posisi kita bukan (lagi mengajukan sebagai) pihak ketiga, tapi sebagai advisory di para panelis Badan Banding di situ,” kata Koordinator Eksekutif JAKI, Yudi Syamhudi Suyuti, Rabu (1/2/2023).
Yudi menjelaskan, alasan di balik JAKI mendukung upaya pemerintah melarang ekspor bijih nikel. Karena JAKI mendukung kebijakan hilirisasi nasional pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Alasan lain, kata Yudi, pihaknya sangat ingin Indonesia menjadi negara maju yang mampu memproduksi sumber-sumber daya alam berbahan baku mentah menjadi produk jadi, seperti EV Battery (Electric Vehicle) dan berbagai produk jadi lainnya.
“Tentu ini sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dibentuknya WTO pada 1994, di mana tidak terlepas dari kesepakatan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) sebagai cikal bakalnya pada 1947, memastikan pekerjaan penuh dan volume pendapatan riil yang besar dan terus tumbuh serta permintaan efektif, mengembangkan penggunaan penuh sumber daya negara,” papar Yudi.
Keterlibatan JAKI dalam hal ini, kata Yudi, sesuai aturan DSU (Dispute Settlement Understanding).
Di mana Pasal 13 Ayat 1 tentang hak kemerdekaan Panel Banding untuk mendapatkan informasi dan saran teknis dari individu atau badan mana pun yang dianggap tepat.
Terlebih dalam hal ini sesuai kapasitas JAKI sebagai organisasi masyarakat sipil yang telah sering terlibat melalui berbagai tindakan partisipasinya dalam keputusan-keputusan di tingkat internasional dan global.
“Melalui penyampaian pendapat hukum ini, kami mewakili kelompok masyarakat sipil sekaligus rakyat warga Indonesia dan warga dunia untuk mendorong reformasi WTO. Hal ini sejalan dengan gerakan masyarakat sipil global yang mendorong terjadinya demokratisasi dalam globalisasi,” tandas Yudi.
Selain itu, dukungan JAKI ini merupakan bentuk tindakan partisipasi organisasi masyarakat sipil sebagai bahan pertimbangan para panelis dalam Badan Banding untuk dapat memutuskan keputusan yang seadil-adilnya.
“Kami berpegang pada prinsip Piagam Atlantik dalam hal penyelesaian Perang Pasifik, dimana GATT sebagai cikal bakal WTO dibentuk paska selesainya perang pasifik. Dalam Piagam Atlantik terdapat 2 poin penting dari 8 poin pentin lainnya. Yaitu Poin ke 3 yang berbunyi, hak untuk menentukan nasib sendiri dan Poin ke 5, yaitu memajukan kerjasama ekonomi dunia dan peningkatan kesejahteraan sosial,” ungkap Yudi.
Adapun proses banding sendiri saat ini, lanjutnya, belum bisa berjalan, dikarenakan terjadinya krisis Badan Banding WTO yang diakibatkan karena terjadinya kekosongan Divisi Banding sejak 2019.
Akan tetapi, menurutnya, ada banyak celah dalam krisis WTO ini salah satunya yaitu untuk mendorong terjadinya reformasi WTO, di mana kesepakatan negosiasi lebih diutamakan dalam hal menang kalah ketika terjadi sengketa perdagangan internasional.
“Jika kemudian Badan Banding mengaktifkan kembali Divisi Banding dalam hal pembentukan Panel Banding, kami menekankan untuk para panelis untuk juga menggunakan pendekatan judicial activism dalam pengambilan keputusannya,” ujarnya.
“Ini mendorong para panelis untuk menemukan hukum baru dengan berbagai latar belakang sengketa perdagangan ekspor nikel internasional sebagai bentuk kebijaksanaan para panelis,” tandas Yudi. (firdausi/pojoksatu)