POJOKSATU.id, JAKARTA – Kantong bocor dana umat ACT Aksi Cepat Tanggap membuat heboh masyarakat Indonesia. Pasalnya, ACT selama ini dikenal selalu membawa misi kemanusiaan dan umat.
Namun hal itu mendadak jadi pergunjingan karena ACT diduga tengah mengalami krisis keungan akibat penyelewengan dana umat yang berlangsung bertahun-tahun.
Dalam laporan investigasi majalah Tempo berjudul ‘Kantong Bocor Dana Umat’, ACT Aksi Cepat Tanggap mengungkap dugaan penyelewengan dana umat oleh petingginya.
Tidak hanya itu, majalah Tempo juga mengungkap adanya pemotongan donasi yang sangat besar sampai adanya kampanye berlebihan.
Dilansir PojokSatu.id dari Tempo.co, Kantong Bocor Dana Umat juga mengungkap sepak terjang Ahyudin, pendiri ACT Aksi Cepat Tanggap.
Ahyudin, diduga menyelewengkan dana sumbangan dan donasi yang dikelola dan dikumpul ACT dari masyarakat.
BACA: Komjen Rafli Amar Dalami Yayasan ACT, Ini Upaya Negara Melindungi Seluruh Warganya
Ahyudin dituding menggunakan uang lembaganya untuk kepentingan pribadi.
Mulai dari membeli rumah dan perabotannya, hingga transfer belasan miliar ke keluarganya.
Akan tetapi, tudingan itu dibantah oleh Ahyudin.
Hanya saja, Ahyudin mengakui dirinya memang sempat membeli rumah dan terlilit tunggakan kredit.
Tempo juga mengungkap adanya kampanye berlebihan yang dilakukan ACT selama kepemimpinan Ahyudin.
Salah satunya yakni donasi untuk pembangunan Musala di Australia yang dalam kampanyenya menggunakan narasi “Surau Pertama di Sydney”.
Faktanya, sudah ada ratusan tempat ibadah umat Islam di sana.
Disebutkan, sejumlah pendiri komunitas Surau Sydney Australia mengungkap, mereka tak menerima donasi secara utuh.
Dari total donasi sebesar Rp3,018 miliar yang terkumpul, mereka hanya mendapatkan Rp.2,311 miliar saja.
Dengan demikian, maka telah terjadi pemotongan dana donasi sekitar 23 persen.
“Pemotongan donasi ini terlalu besar,” ujar Meilanie Buitenzorgy, keluarga salah satu pendiri surau tersebut.
Pemotongan donasi sampai sekitar 23 persen itu dinilai peneliti filantropi Hamid Abidin terlalu besar.
BACA: Wakil Ketua MUI Kaget Besaran Gaji Petinggi ACT, Memalukan Sangat Materialistis dan Hedonis Sekali
Hal itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.
Dalam aturan itu, pemotongan maksimal untuk donasi sosial hanya 10 persen saja.
Sedangkan zakat, infak, dan sedekah maksimal 12,5 persen.
“Potongan untuk biaya operasional dan lain-lain sudah termasuk di dalamnya,” ujar Hamid.
Hamid Abidin menegaskan, lembaga filantropi seharusnya jujur dan menyampaikan sejak awal potongan donasi yang diterapkan.
Dengan begitu, donatur bisa mengetahui dan memilih kepada siapa donasi disalurkan.
BACA: Terungkap Sudah Alasan Ahyudin Hengkang dari ACT Aksi Cepat Tanggap, Ternyata Pemicu Krisis Keuangan
Di sisi lain, Hamid Abdidin mengungkap banyak lembaga pengumpul donasi kerap melebih-lebihkan kampanye dan promosinya.
la menilai kampanye pembangunan masjid di Sydney dan Magetan termasuk pelanggaran kode etik karena menggunakan informasi bohong.
“Pihak crowdfunding, seperti Kitabisa, juga tak boleh lepas tanggung jawab. Kalau ada konten yang tidak benar, jangan dinaikkan,” ucap Hamid. (tempo.co/ruh/pojoksatu)