Oleh: Tasaro GK
Di negeri ini sudah biasa sekali ketika seseorang dipidanakan karena mengunggah hoaks, dia akan beralasan, “Saya hanya memposting ulang. Saya tidak punya niat jahat.” Sama saja ketika ucapan seseorang menyakiti orang lain, dia akan berujar,
“Saya hanya memberi masukan. Sama sekali tidak berniat jahat.”
Perihal niat, siapa yang bisa benar-benar mengujinya? Itu tersimpan rapi dalam pikiran terdalam. Kita harus menyelam untuk sungguh-sungguh mengetahui kebenarannya.
Dalam literasi, Anda akan terkejut ketika tahu ada satu praktik yang jahat tetapi bisa jadi dilakukan seseorang benar-benar bukan karena niat, melainkan karena kebodohan. Tentu Anda bukan sekali dua kali dikejutkan oleh kasus penjiplakan karya tulis ilmiah oleh oknum akademisi. Tidak berhenti di mahasiswa atau dosen, kasus serupa beberapa kali dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi.
Apa yang terjadi? Apakah benar para orang pintar yang menyusun karier akademisnya begitu lama dan penuh cerita itu sengaja meruntuhkan capaiannya hanya demi satu jilid karya tulis? Tentu saja dalam beberapa kasus, oknum-oknum ini tak lebih dari pencuri. Pencuri karya orang lain. Mentalnya memang korup.
Tetapi, pada kasus tertentu, dan ini cukup banyak, pelaku plagiat adalah mereka yang tingkat literasinya buruk. Orang-orang ini tidak bisa membedakan terinspirasi atau mencuri. Menyamakan kegiatan mengambil sumber tulisan dan menyalin tempel.
Anda akan terkejut jika membaca tugas karya rulis pelajar SMP dan SMA. Itu terjadi setiap hari. Saya beberapa kali menjadi juru lomba kompetisi karya tulis remaja. Fenomenanya sama. Peserta lomba menyalin tempel karya orang lain bermodal kotak Google. Bahkan tanpa diganti satu kata pun. Kita bisa bayangkan bagaimana jika praktik ini dibiarkan. Kebiasaan akan terbawa hingga mereka masuk kuliah, menjadi akademisi atau profesional berbagai bidang. Siklus plagiat berulang.
Ketika mengajari pelajar SMA menulis opini, saya mesti memeriksa sekalimat demi sekalimat. Sayaberi tahu murid-murid saya, mana kalimat yang mesti mereka beri keterangan sumber dokumennya, mana yang harus mereka tulis dengan bahasa mereka sendiri.
Sebenarnya ada cara untuk menggunakan data orang lain dengan cara aman dan tetap bernilai. “Menceritakan kembali” istilahnya. Bahkan ketika seseorang mengambil sumber dari suatu media atau tulisan orang lain, dia tetap bisa melakukan teknik ini agar tidak terhitung sebagai plagiarisme. Tetap cantumkan sumber lalu bahasa ulangkan kalimatnya.
Cara membahasakan ulang memang selalu terkait dengan kemampuan literasi seseorang. Sebab, dia mesti mampu memahami lalu menceritakan kembali dengan sudut pandangnya sendiri. Tidak sakadar mengganti kata dengan sinonimnya atau menggeser tanda baca.
Ini bukan hal sederhana tetapi jika tidak ditangani, akan semakin banyak generasi muda kita yang terjebak dalam perkara plagiat, bahkan ketika mereka tidak punya jahat.
(* Penulis adalah novelis, pengajar jurnalistik, Kepala Sekolah SD Alam Bukit Akasia Sumedang)